Pandangan itu direspons oleh Syekh Abdul Hamid al-Syarwani dalam Hasyiyah al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah dengan menyebut bahwa shalat kafarat menyalahi seluruh mazhab.
Hadits tentang shalat kafarat tidak dapat dibuat dalil, karena tidak memiliki sanad yang jelas.
Baca Juga: Hukum Tidak Shalat Jum'at 3 Kali, Ini Kata Ulama
Pandangan yang membolehkan shalat kafarat di Jumat akhir Ramadhan:
"Al-Qadli Husain berkata, bila seseorang mengqadha shalat fardhu yang ditinggalkan secara ragu, maka yang diharapkan dari Allah shalat tersebut dapat mengganti kecacatan dalam shalat fardhu atau paling tidak dianggap sebagai shalat sunah. Saya mendengar bahwa sebagian ashab-nya Bani Ashim berkata, bahwa ia mengqadha seluruh shalat seumur hidupnya satu kali dan memulai mengqadhanya untuk kedua kalinya. Al-Ghuzzi mengatakan, ini adalah faedah yang agung, yang jarang sekali dikutip oleh ulama.”
Sementara itu, Syekh Fadl bin Abdurrahman al-Tarimi al-Hadlrami dalam kitab Kasyf al-Khafa’ wa al-Khilaf fi Hukmi Shalat al-Bara’ah min al-Ikhtilaf mengatakan bahwa keraguan dalam ibadah badan atau harta, boleh menggantungkan niat qadhanya, bila betul ada tanggungan maka statusnya wajib, bila tidak, maka berstatus sunah.
Shalat kafarat pada Jumat akhir Ramadhan rutin dilakukan dan diimbau oleh para pembesar ulama di Yaman. Bahkan di masjid Zabid Yaman, shalat kafarat ini rutin dilakukan secara berjamaah.
Baca Juga: Simak! Ini Pengertian, Penyebab, Hukum dan Tata Cara Sujud Sahwi
Dengan demikian, mengikuti amaliyah para wali dan ulama ahli makrifat tanpa diketahui dalil istinbathnya dari hadits Nabi, sudah cukup untuk menjadi argumentasi membolehkan shalat kafarat ini.
Hal ini sebagaimana yang dinyatakan Syekh Abdul Wahhab al-Sya’rani dalam kitab Tanbih al-Mughtarrin yang dikutip di dalam Kasyf al-Khafa’.
"Di antara kaum, apabila mereka tidak memiliki dalil dari sunah Nabi yang ditetapkan dalam kitab syariat, mereka menghadap hatinya kepada Rasul, bila sudah berhadapan dengan Nabi, mereka bertanya kepada beliau dan mengamalkan apa yang dikatakan Nabi, akan tetapi yang demikian ini khusus untuk para pembesar sufi," demikian penjelasan Syekh Abdul Wahhab al-Sya’rani.
Dari berbagai penjelasan di atas, baik yang membolehkan maupun yang mengharamkan, Ustadz Mubasysyarum Bih menggarisbawahi bahwa shalat kafarat yang diyakini sebagai pengganti shalat fardhu yang ditinggalkan selama satu tahun, sama sekali tidak dibenarkan.
Sebab kewajiban bagi orang yang meninggalkan shalat, baik sengaja atau lupa, adalah mengqadhanya satu per satu, ulama tidak ikhtilaf dalam hal ini.
Sementara shalat kafarat dimaksudkan sebagai langkah antisipasi saja.