Penulis: Andre Komarudin
Surabaya, Sonora.ID – Urbanisasi dan pemukiman selalu menjadi isu utama yang dihadapi oleh kota-kota besar, termasuk Surabaya.
Kompleksitas permasalahan seperti keterbatasan lahan terbuka, mahalnya harga tanah, buruknya sanitasi pemukiman, hingga laju pertambahan penduduk yang terus meningkat, seakan menjadi lingkaran masalah yang tak kunjung selesai.
Data dari Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman serta Pertanahan (DPRKPP) Kota Surabaya menunjukkan bahwa antrean calon penghuni rumah susun sederhana sewa (rusunawa) telah menembus lebih dari 10 ribu keluarga.
Namun, hanya 130 kepala keluarga (KK) yang masuk dalam kategori keluarga miskin (gamis) dan mendapatkan prioritas.
Tingginya minat masyarakat untuk membeli rumah susun sederhana milik (rusunami) juga menunjukkan antrean yang hampir sama panjangnya dengan rusunawa. Tidak terserapnya jumlah antrean ini disebabkan oleh keterbatasan unit rusunawa yang sudah penuh.
Sementara itu, pembangunan rusunami terkendala oleh tingginya harga, sehingga daya beli masyarakat tidak mampu mengimbanginya.
Baca Juga: DPRD Kota Surabaya Sikapi Putusan MK Gratiskan SD & SMP dengan Cara Begini!
Menanggapi kondisi ini, Pemerintah Kota Surabaya berencana membangun 9 titik lokasi rusunami bagi warga yang telah lepas dari status Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Rencananya, akan dibangun 31 blok rusunami di sembilan lokasi tersebut, antara lain di Tambak Wedi, Menanggal, Kedung Cowek, Bulak Banteng, Gunung Anyar, dan Medokan Ayu.
Pembangunan rusunami ini bertujuan memberikan opsi hunian layak dengan angsuran terjangkau bagi warga eks-rusunawa. Pemkot juga menyiapkan skema pembayaran jangka panjang dengan cicilan ringan agar warga bisa memiliki hunian sendiri.
Selain itu, pembangunan rusunami ini akan memanfaatkan lahan aset milik Pemkot Surabaya. Pemkot juga menjajaki kerja sama dengan pihak swasta melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
Fokus untuk memperbanyak unit rusunami dibandingkan rusunawa lebih didasarkan pada keterbatasan dana operasional yang dibutuhkan untuk mengelola rusunawa.
Terkait keputusan tersebut, Wakil Ketua Komisi A DPRD Kota Surabaya dari Fraksi PSI, Pdt. Rio Dh. I. Pattiselano, S.Kom., menegaskan bahwa permasalahan pendanaan rusunawa sebenarnya bisa diatasi melalui mekanisme hibah dari Pemerintah Pusat, dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Pemerintah Provinsi.
Rio menilai bahwa pembangunan rusunami yang lebih banyak dibandingkan rusunawa justru bisa memunculkan masalah baru.
Masyarakat yang telah mengantre sejak 2023 bisa kehilangan minat karena harga unit yang kian mahal akibat fluktuasi harga material bangunan. Akibatnya, unit rusunami bisa sepi peminat dan hanya terjangkau oleh segelintir masyarakat yang mampu.
“Nggak apa-apa, silakan sembilan titik baru rusunami ini dibangun. Tapi kami di DPRD juga mendorong agar rusunawa diperbanyak. Kan nggak semua warga punya uang untuk beli unit yang menjadi hak milik,” ujarnya.
Rio juga menyampaikan bahwa Panitia Khusus (Pansus) Hunian Layak mendukung pembangunan hunian vertikal yang terintegrasi dengan pasar dan fasilitas layanan publik. Komisi A dan Pansus bahkan telah melakukan kunjungan kerja ke Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman di Jakarta, termasuk meninjau langsung Rusun Pasar Rumput yang dibangun di atas lahan milik Pemprov DKI Jakarta.
Hunian tersebut dirancang menyatu dengan pasar tradisional tiga lantai dan dilengkapi fasilitas umum serta area layanan publik. Menurut Rio, konsep ini sangat relevan diterapkan di Surabaya karena turut mendorong aktivitas ekonomi masyarakat.
“Rusun Pasar Rumput itu memiliki 1.984 unit. Masing-masing unit luasnya sekitar 36 meter persegi, terdiri dari dua kamar tidur, pantry, dan ruang tamu, sehingga sangat layak untuk keluarga. Harga sewanya juga terjangkau, mulai dari Rp1,1 juta hingga Rp2,25 juta per bulan. Lantai bawah memang lebih mahal. Ini bisa dijadikan rujukan dengan menyesuaikan kondisi di Surabaya.”
Lebih lanjut, Rio menyebut bahwa hunian vertikal yang terjangkau bagi warga harus segera direalisasikan untuk menjawab tantangan keterbatasan lahan dan mahalnya properti di Surabaya, salah satunya dengan memanfaatkan aset milik daerah.
Diakui bahwa kebutuhan tempat tinggal adalah hak dasar setiap warga. Namun kenyataannya, di Surabaya harga rumah semakin tidak terjangkau, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah.
Salah satu konsep yang bisa diadopsi adalah skema Hunian Bersubsidi Berbasis Aset, seperti Hak Guna Bangunan (HGB) di atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Dalam skema ini, tanah tetap menjadi milik negara atau pemerintah daerah, namun bisa dimanfaatkan secara legal oleh pengembang untuk membangun hunian vertikal yang terjangkau.