Jakarta, Sonora.ID - Alih kelola Blok Migas Rokan, Provinsi Riau dari PT Chevron Pasific Indonesia yang sudah 97 tahun kepada PT Pertamina (Persero) tinggal menghitung hari. Tepatnya pada 9 Agustus 2021 nanti, Blok Migas terbesar kedua di Indonesia itu akan diserahterimakan kepada PT Pertamina (Persero).
Namun, menjelang alih kelola tersebut, banyak persoalan yang ternyata belum diselesaikan dan berpotensi menghambat proses alih kelola tersebut. Chevron diduga tidak transparan terkait data pengolahan Limbah Bahan Beracun Berbahaya (B3) yakni berupa Tanah Terkontaminasi Minyak yang jumlahnya masih sangat signifikan dan belum terselesaikan.
Kondisi ini dikhawatirkan menjadi permasalahan di kemudian hari bagi masyarakat setempat, pemerintah daerah, Pertamina dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terlebih lagi berpotensi menjadi beban keuangan negara secara langsung maupun tidak langsung.
Sejak 2018 ketika keputusan pengelolaan Blok Rokan oleh Pemerintah diserahkan
kepada Pertamina mulai 9 Agustus 2021, pada 2019 Chevron sebagai kontraktor mulai mengurangi investasinya sehingga menyebabkan produksi harian di blok tersebut mengalami penurunan yang cukup drastis. Meskipun pada tahun 2020, Chevron kembali melakukan investasi atas beban Pertamina, tetapi karena produksi harian yang sudah terlanjur turun drastis,
sehingga menjadi sulit untuk kembali ke performa semula.
Belum lagi permasalahan pembangkit listrik yang dikelola oleh PT MCTN yang
merupakan anak usaha PT CPI, diduga telah terjadi pelanggaran terhadap UU
Ketenegalistrikan, bahwa yang memiliki Wilayah Produksi adalah PT PLN (Persero).
PT CPI telah memasukkan biaya operasional PT MCTN ke dalam Cost Recovery yang ditanggung negara, tetapi juga menjual pembangkit listrik PT MCTN kepada PT PLN (Persero) dengan harga yang cukup tinggi dengan mekanisme tender, tanpa memperhitungkan Cost Recovery yang sudah dibayarkan negara.
Ini bisa menjadi indikasi bahwa PT CPI telah mengaburkan persoalan pajak, yang di negara asalnya Amerika Serikat, masalah pajak Chevron ini tengah
menjadi sorotan.
"Proses transisi tidak berjalan dengan mulus, dimana Pertamina tidak diizinkan masuk untuk bisa mengakses, baik data-data produksi, data-data operasi, bahkan data-data pekerja. Hal ini menyebabkan Pertamina juga tidak bisa membantu mempertahankan produksi Blok Rokan yang menunjang produksi nasional. Pernah muncul bahkan opsi Pertamina bisa mengakuisisi perusahaan PT CPI di dua tahun terakhir, tentunya Pertamina harus membayar sejumlah uang tertentu mengambil alih CPI. Namun demikian CPI ingin keluar dari negeri ini dengan clean," ujar Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Arie Gumilar, dalam diskusi panel virtual Tuntaskan Masalah Blok Rokan Sebelum Diserahkan Ke Pertamina, Sabtu (12/6/2021).
Menurut Arie, kondisi itu menyebabkan angka produksi Blok Rokan terus mengalami penurunan. Tercatat Angka produksi Blom Rokan menurun dari 209 ribu Barel Oil Per Day (BOPD), turun menjadi 200 ribu BOPD, dan bahkan di awal tahun 2021 angka produksi Blok Rokan sudah menurun hingga 165 ribu BOPD.
"Ini karena proses transisi tidak mulus, PT CPI tidak mau mengeluarkan investasi, sementara Pertamina juga belum bisa masuk," ungkapnya.
Arie berharap, permasalahan - permasalahan yang terjadi dalam proses alih kelola, bisa segera diselesaikan sebelum alih kelola pada 9 Agustus 2021 mendatang dilakukan.
"Kami mengajak seluruh elemen massa memberikan kontribusinya yang nyata, pengelolaan blom Rokan oleh anak bangsa sendiri benar-benar harus menghasilkan sesuatu yang bisa dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," tegasnya.
Sementara itu, Deputi Operasi SKK Migas, Julius Wiratno mengakui, masih ada banyak persoalan yang harus diselesaikan sebelum nantinya Blok Rokan diserahterimakan kepada Pertamina. Meski demikian, ia memastikan tidak ada pelanggaran hukum yang terjadi dalam proses serah terima tersebut, termasuk soal isu adanya limbah B3.
"Sampai dengan hari ini tidak ada (Pelanggaran hukum), kalau ada pasti sudah diperkarakan. Tapi kalau surat menyurat, pengaduan, saya kemarin baru pulang dari Balikpapan terus siang ikut rapat pimpinan, ada surat katanya sudah ada Pelaporan, tapi kan kami tidak tahu sudah ditindaklanjuti atau belum. Disarankan oleh penasehat ahli yang bidang penegakan hukum SKK Migas untuk berkomunikasi dengan penegak hukum," ujar Julius.
Namun demikian, kata Julius, hal itu belum boleh disebut ada pelanggaran hukum karena pengaduan itu memang banyak sekali. Dari mulai hal yang ringan hingga berat. "Tapi selama ini tentu saja dikendalikan dengan baik dan bijaksana dan dikomunikasikan dengan pihak terkait dengan bijaksana," tegasnya.
Julius menambahkan, pada prinsipnya transisi Blok Rokan ini harus berhasil, karena proses transisi blok migas sendiri sudah pernah dilakukan sebelumnya dan melibatkan Pertamina.
"Jadi apapun yang kita hadapi didepan mata, kita selesaikan dengan sebaik-baiknya. Tinggal dua bulan lagi, proses transisi harus kita selesaikan dengan tuntas," kata dia.
Kemudian menjawab pertanyaan Kabid Media FSPPB, Capt. Marcellius Hakeng Jayawibawa soal adanya Head Of Agreement (HOA) antara SKK Migas dengan Chevron Pacific Indonesia pada 28 September 2020 tentang pemulihan limbah B3 di Blok Rokan, Julius menjelaskan bahwa tujuan dibuatnya HOA itu adalah karena salah satunya CPI tidak mau berinvestasi lagi pada Blok Rokan, karena pertimbangan bahwa investasi tersebut tidak ada kepastiannya apakah nanti akan kembali dalam bentuk cost recovery atau sebagainya.
"Tujuan kita (HOA) adalah bagaimana produksi, lifting kita minyak tidak turun dari Rokan. Itu yang mendasari itu semua. Dan juga ada liability kewajiban yang harus dilaksanakan. Dalam HOA itu ada pertimbangan teknisnya, bahwa untuk terkait dengan pemulihan lahan itu di perjanjian sebelumnya tidak diatur. Itu yang mendasari, sehingga ini muncul untuk memastikan agar Chevron mau berinvestasi untuk menjaga produksi Rokan," pungkasnya.