Find Us On Social Media :
Pelukis senior Djoko Pekik (baju biru) dan Romo Sindhunata saat acara penyerahan lukisan Berburu Celeng Merapi ke Museum Anak Bajang di Omah Petroek, Kampung Karangkletak, Desa Hargobinanggun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman.(KOMPAS.COM/YUSTINUS WIJAYA KUSUMA) (KOMPAS.COM/YUSTINUS WIJAYA KUSUMA)

Napas Djoko Pekik dalam Hidup Berkesenian dan Melakukan Perlawanan

Fauzi Ramadhan - Kamis, 16 Juni 2022 | 13:05 WIB

Sonora.ID - Hidup nyeni bukan berarti tidak dapat mengekspresikan perlawanan.

Kalimat itu secara nyata hadir termanifestasi dalam diri Djoko Pekik, seorang pelukis senior Indonesia dan mantan tahanan politik masa Orde Baru.

Pria yang lahir di Purwodadi, Jawa Tengah, pada 2 Januari 1937 tersebut memang terkenal lantang membela rakyat lewat seni.

Hingga pada 1965, ia ditangkap dan dipenjara tanpa diadili oleh aparat karena dianggap berafiliasi dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi kebudayaan sayap kiri.

Setelah tujuh tahun di penjara, Djoko baru bisa menghirup napas bebas pada 1970-an.

Namun, ia baru kembali aktif menjadi seniman sekitar tahun 1990-an dengan membawa karya terkenalnya bernama “Berburu Celeng” yang dibuat pada 1998.

Secara sederhana, Djoko lantas bercerita tentang karya tersebut kepada Wisnu Nugroho, Pemimpin Redaksi KOMPAS.com, dalam episode siniar (podcast) Beginu bertajuk “Lukisan Celeng Supaya Sluman, Slumun, Slamet” di Spotify.

 Baca Juga: Lintasi Waktu, Djoko Pekik Sang Maestro Lukisan Pamerkan Lukisan Bernuansa Pandemi

Sebelum berbicara seputar karya, Djoko terlebih dahulu menuturkan latar belakang karya yang dibuat, “Kan kerja artistik tidak hanya karya seni lukis hanya bisa bicara kepada publik, ya harus berbahasa politik. Tidak hanya indah dilihat, tetapi tetap bicara (politik)”.