Palembang, Sonora.ID - Kabar mengejutkan datang dari Sri Lanka. Negara yang terletak di Asia selatan itu dinyatakan bangkrut setelah dilanda krisis ekonomi terparah .
Kebangkrutan itu diakibatkan oleh utang luar negeri yang menggunung mengakibatkan kebutuhan pokok dan bahan bakar minyak untuk rakyatnya sulit didapatkan.
Namun ternyata, Sri Lanka bukanlah satu-satunya negara yang dijerat masalah ekonomi serius.
Dilansir dari tribunnews.com, berikut beberapa negara yang berisiko tinggi mengalami kebangkrutan seperti Sri Lanka:
1. Afghanistan
Afghanistan sudah terguncang krisis ekonomi buruk sejak Taliban berkuasa di negara itu sejak tahun lalu.
Berkuasanya Taliban seiring kebijakan Washington dan sekutu NATO yang menarik pasukannya dari Afghanistan.
Bantuan asing yang selama ini menjadi penopang ekonomi Afghanistan pun terhenti. Berbagai pemerintahan juga memberlakukan sanksi, menangguhkan transfer bank, melumpuhkan perdagangan, serta menolak mengakui pemerintahan Taliban.
Pemerintahan Amerika bahkan membekukan 7 miliar dolar AS cadangan mata uang asing Afghanistan yang berada di AS.
Sekitar setengah populasi Afghanistan terancam kekurangan pangan yang parah dan kebanyakan pekerja publik, termasuk dokter dan guru, tidak dibayar selama berbulan-bulan.
2. Turki
Keuangan pemerintah yang semakin buruk dan defisit modal serta perdagangan melengkapi masalah menumpuknya utang luar negeri Turki serta tingginya angka pengangguran.
Dikutip dari BBC Indonesia, Kamis (7/7/2022), harga berbagai barang di Turki meningkat dengan laju tercepat dalam 24 tahun terakhir, menurut data resmi baru-baru ini.
Inflasi rata-rata tahunan menembus 78,62 persen pada bulan Juni, lebih tinggi dari perkiraan.
Peningkatan ongkos transportasi dan harga rumah tergolong yang paling tajam, termasuk akibat perang di Ukraina.
Baca Juga: Nggak Kenal Matahari Terbenam, 6 Negara Ini Siang Terus Tanpa Gelap 24 Jam Nonstop, Kok Bisa?
Bank Sentral Turki terpaksa menggunakan cadangan devisa untuk mengatasi krisis mata uang.
Pemotongan pajak dan subsidi bahan bakar untuk meredam dampak inflasi telah melemahkan keuangan pemerintah.
Warga Turki kini disebut kesulitan membeli makanan dan bahan pokok lain. Utang luar negeri Turki pun mencapai 54 persen dari jumlah GDP negara itu.
3. Zimbabwe
Inflasi di Zimbabwe kini tengah melampaui 130 persen, memicu ketakutan bahwa negara itu akan kembali ke masa hiperinflasi pada 2008 yang mencapai 500 miliar persen.
Zimbabwe sendiri saat ini tengah mendolarisasi sebagian besar ekonominya seiring ketidakpercayaan terhadap mata uang dalam negeri.
Namun, Zimbabwe disebut kesulitan mendapatkan uang kertas yang diperlukan di tengah meningkatnya permintaan terhadap dolar AS.
Ekonomi Zimbabwe sendiri saat ini diterpa de-industrialisasi, korupsi, rendahnya investasi, ekspor rendah, serta utang luar negeri tinggi selama bertahun-tahun.
Banyak keluarga di Zimbabwe yang terpaksa mengurangi makan karena sulit memenuhi kebutuhan.
Bank Sentral Zimbabwe berencana untuk mengeluarkan sebuah koin emas yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran yang sah pada masyarakatnya.
Baca Juga: Bukan Korea atau AS, Negara Ini Punya Internet Tercepat di Dunia, Indonesia ke Berapa?
“Koin emas tersebut akan tersedia untuk dijual kepada masyarakat baik dalam mata uang lokal maupun dolar AS dan mata uang asing lainnya dengan harga berdasarkan harga emas internasional yang berlaku dan biaya produksi,” kata Gubernur Bank Sentral, John Mangudya.
Dilansir dari The Guardian, emas yang akan dijual Zimbabwe yaitu koin emas satu troy-ons yang biasa disebut Mosi oa-Tunya Gold Coin.
4. Argentina
Sekitar empat dari 10 warga Argentina dalam kondisi miskin dan bank sentral di Buenos Aires kekurangan cadangan devisa di tengah melemahnya mata uang negara itu.
Inflasi di Argentina pun diproyeksikan melampaui 70 persen pada 2022. Jutaan warga Argentina dilaporkan mengandalkan dapur umum dan program-program kesejahteraan masyarakat yang disokong gerakan sosial kuat yang terkait partai berkuasa saat ini.
Belakangan ini, kesepakatan Buenos Aires dengan IMF untuk merestrukturasi 44 miliar dolar AS utang luar negeri dipertanyakan atas konsesi yang dikritik justru menghalangi pemulihan ekonomi.
5. Mesir
Tingkat inflasi Mesir meroket hingga hampir 15 persen pada April lalu. Hal tersebut mempersulit kondisi ekonomi Mesir yang 103 juta warganya berkubang dalam kemiskinan.
Warga Mesir sendiri telah menderita oleh program-program reformasi yang memuat kebijakan penghematan seperti pemangkasan subsidi bahan bakar, air, dan listrik.
Baca Juga: 7 Negara Besar Ini Ternyata Tak Punya Tentara, Kalau Perang Gimana?
Bank sentral negara itu telah menaikkan suku bunga untuk mengekang inflasi dan mendevaluasi mata uang, meningkatkan kesulitan membayar utang luar negeri Mesir yang sudah tinggi.
Cadangan devisa bersih milik Mesir pun menurun. Untuk membantu kesulitan ekonomi Mesir, negara tetangganya, yakni Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab telah menjanjikan 22 miliar dolar AS dalam bentuk deposit dan investasi langsung.
6. Laos
Laos merupakan salah satu negara dengan perkembangan ekonomi tercepat sebelum pandemi. Tingkat utang luar negeri Laos meningkat.
Seperti Sri Lanka, Vientiane kini tengah berbicara dengan kreditur tentang bagaimana membayar utang miliaran dolar AS mereka.
Isu pembayaran utang luar negeri Laos terhitung mendesak, mengingat lemahnya keuangan pemerintah. Menurut Bank Dunia, cadangan devisa Laos setara atau kurang dari nilai impor selama dua bulan.
Depresiasi mata uang Laos hingga 30 persen memperburuk keadaan. Juga, harga-harga yang melambung serta tingkat pengangguran karena pandemi memperparah kemiskinan.
7. Lebanon
Perekonomian Lebanon mirip Sri Lanka dengan kekhawatiran kolapsnya mata uang, meroketnya inflasi, ancaman kelaparan, kurangnya pasokan kebutuhan pokok, serta pertumbuhan kelas menengah yang terus menyusut.
Lebanon juga menderita akibat perang sipil berkepanjangan. Pemulihan pasca-perang pun dihambat disfungsi pemerintahan dan serangan-serangan teror.
Baca Juga: 5 Negara Paling Tidak Terkenal, Kalau Tahu Artinya Kamu Berpengetahuan Luas
8. Myanmar
Dampak pandemi Covid-19 di Myanmar diperparah dengan kudeta militer terhadap pemerintahan Aung San Suu Kyi pada Februari 2021 silam.
Kudeta pun berbuntut sanksi-sanksi Barat yang menyasar sektor komersial penggerak ekonomi yang dikuasai militer.
Ekonomi Myanmar berkontraksi hingga 18 persen pada tahun lalu, kemudian diproyeksikan hampir tidak bertumbuh sama sekali pada 2022.
Lebih dari 700.000 orang terpaksa mengungsi atau terusir dari rumah oleh konflik bersenjata dan kekerasan politis.
Dikutip dari dw.com, krisis ekonomi menghantam keras kehidupan warga di daerah terpencil. Seperti di negara bagian Kachin, harga beras saat ini lebih mahal hampir 50 persen .
Biaya pengangkutan produk pertanian ke kota-kota juga melonjak karena harga bahan bakar yang naik 30 persen sejak kudeta.
Program Pangan Dunia PBB (WFP) memperkirakan bahwa dalam enam bulan ke depan, sebanyak lebih dari 3,4 juta orang terancam kelaparan di Myanmar.