Sonora.ID- Fenomena From Zero to Hero Syndrome menjadi sorotan dalam dinamika relasi modern, khususnya yang melibatkan perempuan yang setia menemani pasangannya sejak awal perjuangan.
Istilah ini merujuk pada pola hubungan di mana seorang perempuan mendampingi pasangannya dari kondisi belum mapan, namun justru ditinggalkan ketika sang pria telah mencapai kesuksesan.
Baca Juga: GIWATA Borneo Expo 2025 Resmi Dibuka, Perkuat Pemberdayaan Perempuan dan Ekonomi Syariah di Kalbar
Apa Itu From Zero to Hero Syndrome?
From Zero to Hero Syndrome menggambarkan situasi ketika seorang laki-laki meminta pasangannya untuk setia dan mendukungnya sejak ia belum memiliki apa-apa, baik secara finansial maupun karier.
Dalam banyak kasus, perempuan yang telah berkontribusi secara emosional, moral, bahkan finansial, justru tidak diakui perannya ketika sang pria telah “naik level” secara sosial atau ekonomi.
Menurut Psikolog Klinis Melisa, M.Psi., “Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pandangan ini sepenuhnya. Selama pasangannya juga bersedia menemani laki-lakinya dan tahu hubungannya mau dibawa seperti apa”.
Namun, kenyataannya, banyak perempuan yang merasa dikhianati setelah memberikan dukungan penuh tanpa kejelasan masa depan hubungan.
Baca Juga: KOWANI dan KPWK Sarawak Malaysia Perkuat Sinergi Perlindungan Perempuan
Bentuk Dukungan yang Sering Diberikan Perempuan
Dalam relasi semacam ini, perempuan sering kali menjadi tempat curhat, penyemangat, bahkan penopang keuangan.
Mereka turut berperan dalam membangun kepercayaan diri dan kestabilan emosional pasangan.
Namun, kontribusi ini sering kali tidak dianggap sebagai bagian dari kesuksesan yang diraih oleh pasangannya.
Fenomena ini mencerminkan relasi yang timpang, di mana cinta berubah menjadi kerja emosional yang tidak dibayar dan tidak memiliki jaminan kejelasan.
Ketika hubungan berakhir setelah sang pria sukses, pengorbanan yang telah diberikan terasa sia-sia.
Baca Juga: TP PKK Palembang Dorong Pemberdayaan Perempuan Lewat Wastra: Budaya Jadi Peluang UMKM
Penyebab Terjadinya From Zero to Hero Syndrome
Psikolog Klinis Adelia Octavia Siswoyo dan Melisa, M.Psi., menyebutkan bahwa fenomena ini banyak dipengaruhi oleh budaya patriarki.
Dalam sistem ini, laki-laki dianggap harus selalu berada “di atas” pasangan mereka, baik dari sisi finansial, status, maupun pencapaian.
Budaya ini menempatkan perempuan dalam posisi subordinat, di mana mereka dituntut untuk mendukung tanpa syarat, namun tidak selalu mendapatkan imbal balik yang setara.
Ketika sang pria telah mencapai posisi yang lebih tinggi, ia merasa perlu mencari pasangan yang “selevel”, sehingga perempuan yang telah menemaninya dari nol dianggap tidak lagi cocok.
Baca Juga: Wamen Ekraf Ajak Antarpihak Berkolaborasi Berdayakan Perempuan Sebagai Motor Pertumbuhan Ekonomi
Dampak Psikologis bagi Perempuan
Perempuan yang mengalami From Zero to Hero Syndrome sering kali mengalami luka emosional yang mendalam.
Mereka merasa tidak dihargai, dikhianati, dan kehilangan arah setelah pengorbanan yang mereka berikan tidak membuahkan hasil. Hal ini dapat memicu stres, depresi, hingga trauma relasional.
Fenomena ini juga memperkuat ketimpangan gender dalam relasi, di mana perempuan dianggap sebagai pendukung pasif, bukan sebagai mitra sejajar.
Padahal, dalam hubungan yang sehat, kontribusi kedua belah pihak seharusnya diakui dan dihargai secara setara.
Baca Juga: Dari Pasar ke Parlemen: Kiprah Kepemimpinan Perempuan untuk Ekonomi Berkelanjutan
Perspektif Kritis terhadap Fenomena Ini
Meskipun fenomena ini banyak terjadi, penting untuk tidak menggeneralisasi semua hubungan.
Tidak semua pria yang sukses akan meninggalkan pasangannya, dan tidak semua perempuan yang menemani dari nol akan dilupakan.
Namun, fenomena ini tetap perlu disoroti sebagai bentuk ketidakadilan relasional yang sering kali tersembunyi di balik narasi romantis.
Kesadaran akan pentingnya komunikasi, kejelasan tujuan hubungan, dan penghargaan terhadap kontribusi pasangan menjadi kunci untuk mencegah terjadinya From Zero to Hero Syndrome.
Relasi yang sehat dibangun atas dasar saling menghargai, bukan sekadar pengorbanan sepihak.
From Zero to Hero Syndrome adalah cerminan dari relasi yang tidak setara, di mana perempuan yang telah berjuang bersama justru ditinggalkan ketika pasangannya mencapai kesuksesan.
Fenomena ini dipengaruhi oleh budaya patriarki dan kurangnya penghargaan terhadap kontribusi emosional dan moral perempuan.
Untuk membangun hubungan yang sehat dan berkelanjutan, penting bagi kedua belah pihak untuk saling menghargai, berkomunikasi secara terbuka, dan menetapkan tujuan bersama.
Dengan begitu, tidak ada pihak yang merasa dirugikan atau dilupakan setelah melewati proses perjuangan bersama.
Baca berita update lainnya dari Sonora.id di Google News.