Waspada! Kelainan Refraksi Bisa Jadi Penyebab Kebutaan Pada Anak

3 Agustus 2020 23:55 WIB
Sekertaris Ikatan Refraksionis Optisien Indonesia (IROPIN) Pengurus Daerah Sulawesi Selatan, Baso Muhaemin.
Sekertaris Ikatan Refraksionis Optisien Indonesia (IROPIN) Pengurus Daerah Sulawesi Selatan, Baso Muhaemin. ( Smartfm Makassar)

Makassar, Sonora.ID - Data dari WHO dalam Global Innitiative for the Elimination of Avoidable Blindness: Action plan 2020 menyebutkan bahwa 500.000 anak menjadi buta setiap tahun atau setara dengan satu anak permenitnya.

Jika merujuk pada UNICEF, usia seorang anak terhitung sejak lahir hingga anak berusia 18 tahun.

Sekitar 1,4 juta anak di dunia diperkirakan mengalami kebutaan.

Satu juta diantaranya tinggal di Asia dan 300.000 di Afrika, dengan prevalensi mulai dari 1,5 per 1000 anak di negara berkembang di rentang usia 0-18 tahun.

Baca Juga: Rela Bikin Prank Settingan Daging Kurban Ini Sampah, Ternyata Segini Pendapatan Edo Dari Youtube

Di Indonesia sendiri, data RISKESDAS tahun 2013 menunjukan bahwa prevalensi kebutaan di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu sekitar 0,4% dari seluruh populasi.

Pada sebagian besar kasus, kebutaan diawali dengan penglihatan yang kabur.

Mayoritas penyebab kebutaan sebenarnya dapat dicegah dan dapat diobati, salah satunya yaitu kelainan refraksi.

"Kelainan refraksi mata adalah suatu keadaan dimana bayangan tidak dibentuk tepat di retina, melainkan dibagian belakang bintik kuning dan tidak terletak pada satu titik yang tajam," ujar Baso Muhaemin, Sekertaris Ikatan Refraksionis Optisien Indonesia (IROPIN) Pengurus Daerah Sulawesi Selatan saat hadir dalam talkshow yang digelar Smartfm Makassar, belum lama ini.

Baca Juga: Alasan Pemkot Makassar Hentikan Pemeriksaan Suket Bebas Covid 19 di Perbatasan

Baso mengatakan, kelainan refraksi dikenal dalam beberapa bentuk yaitu miopia, hipermetropia dan astigmatisma.

Dalam beberapa kasus, kacamata mungkin diperlukan untuk membantu perkembangan visual yang normal.

"Sebagai contoh, jenis rabun jauh atau miopia yang dimulai pada saat kanak-kanak atau remaja, memungkinkan ke depannya masih terjadinya pertambahan miopia sepanjang masa remaja, namun, akan mulai melambat dan menjadi stabil pada awal dekade kedua (awal usia 20 tahun) jika tidak segera dikoreksi,"terang Baso.

Menurutnya, penglihatan merupakan sesuatu yang secara signifikan memberikan pengaruh dalam akademik dan aktivitas seseorang, khususnya pada anak-anak yang memiliki kelainan refraksi.

Hingga kini, ditemukan 25% mereka tidak mampu menunjukan performa yang maksimal dalam bidang akademik dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengalami kelainan refraksi.

Olehnya itu, lanjut Baso, apabila orang tua melihat anak menunjukkan ciri-ciri seperti sering memicingkan mata jika melihat objek, hanya mampu membaca ataupun melihat objek dalam jarak dekat, anak sering mengeluh sakit kepala, maka sudah sepatutnya orang tua waspada.

"Alangkah bijaknya jika orang tua segera membawa anak ke fasilitas kesehatan terdekat untuk mendapatkan pemeriksaan lanjutan," pungkasnya.

Baca Juga: Jangan Asal Pakai Kontak Lensa, Perhatikan 6 Cara Aman Pakai Softlens Berikut Ini!

 

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
92.0 fm
98.0 fm
90.4 fm
102.6 fm
93.3 fm
97.4 fm
98.9 fm
101.1 fm
96.0 fm
96.7 fm
99.8 fm
98.9 fm
98.8 fm
90.8 fm
97.5 fm
91.3 fm
94.4 fm
91.8 fm
102.1 fm
98.8 fm
95.9 fm
88.9 fm
101.8 fm
97.8 fm
101.1 fm
101.8 fm
101.1 Mhz Fm
101.2 fm
101.8 fm
102.1 fm