Tren Gaya Hidup Ramah Lingkungan, Benarkah Tak Timbulkan Efek Samping?

13 September 2021 10:50 WIB
Ilustrasi lingkungan yang kering dan asri
Ilustrasi lingkungan yang kering dan asri ( Unsplash)

Sonora.ID - Tren gaya hidup ramah lingkungan menjadi topik yang dapat dikatakan populer belakangan ini, utamanya di kalangan milenial atau anak muda.

Dengan masifnya pemberitaan kerusakan lingkungan, diiringi oleh maraknya kanal-kanal media edukasi yang berfokus pada isu lingkungan, secara tidak langsung hal ini menjadi faktor penekan bagi siapapun untuk menerapkan gaya hidup ramah lingkungan.

Sadar atau tidak sadar, kamu bahkan salah satu yang menerapkan pola hidup ini.

Bisa dimulai dari hal-hal kecil yang kamu lakukan tiap harinya, seperti mengurangi penggunaan sedotan, membawa botol minum pribadi, tidak menggunakan plastik ketika berbelanja, membeli baju-baju thrift, dan lain-lain.

Selamat ya!

Artinya kamu sudah mengambil langkah untuk berkontribusi terhadap lingkungan.

Namun demikian, tren gaya hidup ramah lingkungan demikian masih menyisakan ruang yang perlu kita kritisi bersama.

Sadarkah kamu bahwa pada beberapa tahun lalu, sekitar tahun 2019, tren menggunakan sedotan sekali pakai (stainless straw) sangat marak?

Pada awalnya penggunaan sedotan ini dikatakan sebagai solusi dalam mengurangi penggunaan sedotan plastik yang kabarnya seringkali membunuh hewan-hewan di laut dan juga mencemari tanah.

Kemudian kritik terhadap tren ini mulai muncul.

Yang menjadi menarik adalah kritik ini tidak jarang disampaikan oleh mereka yang juga memiliki perhatian terhadap isu lingkungan.

Baca Juga: Sedang Trend untuk Desain Minimalis, Simak Fengshui Lantai Mezzanine

Meskipun stainless straw sebagai suatu produk barang terkesan eco-friendly karena mendorong penggunanya untuk tidak lagi menggunakan sedotan plastik, di balik itu semua stainless straw tidak diproduksi dengan cara-cara yang ramah lingkungan.

Dikutip dari kontributor The Silhouette, Kayla Freeman, energi yang digunakan untuk membuat satu stainless straw kira-kira setara dengan membuat 90 sedotan plastik.

Selain itu, produksi ini juga menghasilkan emisi karbon yang setara dengan 150 sedotan plastik.

Kamu juga mungkin pernah menemukan stainless straw yang berwarna-warni.

Di balik indahnya warna-warna tersebut ternyata terdapat ancaman kesehatan yang perlu kamu hadapi karena cat yang digunakan mengandung bahan kimia tidak aman, seperti Bisphenol A (BPA).

Badan Perlindungan Lingkungan (Environmental Protection Agency/EPA) mencatat bahwa BPA dapat mengganggu produksi sekaligus daya respons hormon alami.

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Machtinger dkk (2013), para ahli menemukan bahwa paparan BPA dapat memengaruhi pematangan sel telur pada manusia.

Riset lainnya di tahun 2015 yang dilakukan oleh Xiaona Huo dkk menemukan bahwa zat kimia tersebut dapat mempengaruhi pubertas dan ovulasi, bahkan hingga infertilitas.

Kelompok studi ini juga menambahkan bahwa dampaknya mungkin akan berlaku seumur hidup dan lintas generasi.

Dari sisi sosial dan ekonomi, sadar atau tidak sadar, produk ini memunculkan dilema kelas sosial antara yang mampu dan yang tidak.

Baca Juga: 7 Tips Mengatur Denah Rumah Minimalis Menurut Fengshui

Beberapa dari kamu mungkin hidup di keluarga yang sedari awal mampu untuk membeli stainless straw yang katanya dapat ‘menjaga lingkungan’.

Di sisi lainnya, beberapa dianggap tidak berkontribusi terhadap lingkungan hanya karena tidak mampu membeli stainless straw.

Dampaknya adalah isu lingkungan menjadi isu kelas menengah saja.

Ada kecenderungan bahwa kelas sosial-ekonomi rendah tidak dapat berkontribusi bagi lingkungan karena mereka secara finansial tidak mampu membeli barang-barang yang dilabeli eco-friendly.

Selain itu, kita juga tahu tren membawa tas belanja sendiri atau goodie bag ketika berbelanja.

Pun ini bukan lagi sebatas tren, melainkan kebijakan pemerintah yang sudah terimplementasi cukup baik.

Tentunya ini perlu diapresiasi dan terus digalakkan namun tidak berarti kita harus berhenti melihat paradoksnya.

Sadar kah kamu bahwa goodie bag menjadi komoditas yang dijual secara terus menerus oleh swalayan?

Di satu sisi ini merupakan hal yang baik, terutama bagi kamu yang mungkin kelupaan membawa tas sendiri saat berbelanja.

Tapi sisi lainnya, secara tidak sadar ini memanjakan kita untuk lupa membawa tas belanja sendiri karena kita merasa swalayan akan selalu menyediakan goodie bag yang secara mudah dapat kita beli.

Baca Juga: Perlunya Belajar Jadi Pribadi yang Minimalis Saat Resesi Menyerang

Implikasinya adalah kita membeli sekaligus menumpuk barang yang kemungkinan besarnya sudah kita miliki.

Kondisi-kondisi seperti ini yang memungkinkan untuk mendorong industri terus memproduksi goodie bag.

Padahal goodie bag ini lagi-lagi diproduksi dari kayu sehingga harus mengorbankan pohon.

Ini merupakan logika dasar ekonomi, bahwasanya industri dan/atau pasar juga mengikuti tren atau kebutuhan konsumen.

Jika sebagai konsumen kita tidak begitu bijak, maka kita sendiri menjadi pihak yang menciptakan budaya tidak ramah lingkungan.

Hal ini dikarenakan kita lah yang mengarahkan para produsen untuk mengekstrasi sumber daya alam demi memenuhi kebutuhan kita.

Dengan kata lain, kita membentuk tren pasar yang tidak ramah lingkungan.

Apa yang dapat kita simpulkan dari ini semua adalah, tren gaya hidup ramah lingkungan seringkali diidentikkan dengan ‘membeli barang’ ketimbang mendorong seseorang untuk menjadi ‘minimalis’.

Pada dasarnya, filosofi lingkungan menekankan unsur ‘minimalis’ baik dalam kegiatan produksi dan konsumsi.

Baca Juga: Hidup Sehat dengan Rutin Berolahraga untuk Menaikkan Imun

Produksi dan konsumsi adalah kegiatan yang wajar namun yang perlu diperhatikan adalah ‘seberapa besar ekstraksi sumber daya lingkungan dari kegiatan tersebut’.

Seperti halnya memproduksi goodie bag, itu adalah hal yang wajar.

Yang cukup dilematis adalah ketika dalam jangka panjang, produksi goodie bag (atau barang-barang lainnya) melebihi ambang batas kebutuhan konsumsi sehingga yang terjadi adalah surplus produksi atau biasa kita sebut sebagai ‘mubazir’.

Di satu sisi pula, tidak ada jaminan kita merestorasi sumber daya alam yang telah kita pakai untuk surplus produksi tersebut.

Maka dari itu guna menjamin keberlangsungan daya dukung lingkungan, hal paling mudah yang bisa kamu lakukan adalah menerapkan hidup minimalis.

Beli lah kebutuhan seperlunya dan pastikan barang-barang yang kamu beli bersifat tahan lama atau memiliki kualitas yang baik sehingga kamu tidak perlu bulak-balik belanja karena barangmu cepat rusak.

Ini juga dilakukan guna meminimalisir limbah barang yang sudah tidak dapat dipakai.

Kamu juga bisa memanfaatkan barang yang sudah tidak terpakai dengan mereproduksi agar menjadi barang berguna.

Selain menyelamatkan lingkungan, ini juga mengasah kreativitasmu.

Selamat menjadi pionir lingkungan, sahabat Sonora!

 Baca Juga: Tips ala Ten2Five agar Gak Bosan selama PPKM: Berdandan Salah Satunya!

 

 

 

 

 

 

 

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
92.0 fm
98.0 fm
90.4 fm
102.6 fm
93.3 fm
97.4 fm
98.9 fm
101.1 fm
96.0 fm
96.7 fm
99.8 fm
98.9 fm
98.8 fm
90.8 fm
97.5 fm
91.3 fm
94.4 fm
91.8 fm
102.1 fm
98.8 fm
95.9 fm
88.9 fm
101.8 fm
97.8 fm
101.1 fm
101.8 fm
101.1 Mhz Fm
101.2 fm
101.8 fm
102.1 fm