3 Cerpen tentang Ayah yang Sangat Menyentuh Hati dan Penuh Pesan Moral

25 Oktober 2023 11:40 WIB
Ilustrasi cerpen tentang ayah
Ilustrasi cerpen tentang ayah ( freepik.com)

"Jangan bicara selagi makan, Oni!" tegur Ayah padaku.

"Baik, Ayah!" jawabku dengan patuh.

Itu sebagian aturan yang diberlakukan Ayah di meja makan. Aturan yang membuat suasana saat makan bersama terasa hikmat seperti saat upacara bendera di sekolah. Belum lagi aturan-aturan rumah lainnya. Duh, ampuuuunn, banyak sekali. Makanya, kalau Ayah di rumah, rumah jadi lengang.

Ayah punya seorang adik perempuan, kupanggil Tante Dita. Tante Dita tinggal di Semarang. Suasana rumah Tante Dita sangat berbeda dengan suasana rumahku. Soalnya, penghuni rumah Tante Dita tidak banyak. Anaknya cuma satu, sebaya denganku, namanya Tati.

"Sabtu ini ibumu mau ke Semarang, menengok Nenek di rumah Tante Dita. Kamu temani Ibu, mau?" tanya Ayah padaku, seusai makan malam. Aku terkesiap.

Adikku protes, "Kok Kak Oni boleh ke Semarang, aku tidak!"

"Kak Oni ulangannya bagus-bagus minggu ini, jadi dia dapat hadiah," jawab Ayah dengan tenang.

Adikku Eti cemberut.

"Kamu tidak mau, Oni?" tanya Ayah.

"Eh, mau, mau, Ayah!" jawabku cepat-cepat.

Ah, Ayah! Kalau aku tidak segera menjawab bukan karena aku menolak, tetapi aku terlalu gembira. Sudah lama aku ingin berlibur ke Semarang, di rumah Tante Dita. Ohoho, di sana tak ada macam-macam aturan ketat. Semula kami berencana hanya tinggal dua hari di Semarang, hari Sabtu dan Minggu. Ternyata, Nenek masih rindu padaku. Nenek meminta kami tinggal dua hari atau tiga hari lagi.

"Lo, Oni harus sekolah, Bu!" Ibu memberi alasan.

"Aku masih ingin bersama cucuku. Minta izin pada Bu Guru untuk bolos sehari lagi saja," ujar Nenek, ringan.

Ibuku kelihatan hendak membantah. Wah, apa kata Ayah nanti? Aku tak berani komentar. Aku, sih, mau saja berapa lama pun tinggal di rumah Tante Dita. Soalnya, segalanya serba menyenangkan. Tidak ada aturan begini, begitu! Mana mungkin Ibu menolak permintaan nenekku yang sudah hampir delapan puluh tahun itu? Jadilah, kami memperpanjang tinggal di rumah Tante Dita.

Ternyata, perpanjangan tinggal bukan cuma satu dua hari seperti permintaan Nenek semula. Sekarang ini sudah memasuki hari keempat!

Wah, wah, bagaimana sekolahku? Ibu bolak-balik telepon ke rumah, tapi Ayah masih dinas di luar kota. Duh, duh, aku mulai resah. Perlahan, kegembiraanku surut. Tetapi aku tidak berani mengeluh pada Ibu. Sebab kulihat setiap hari Ibu keletihan merawat Nenek. Hebatnya, Ibu tidak pernah mengeluh. Malah Ibu berkata, "Begitulah kalau sudah tua. Kita harus maklum, makin tua orang cenderung bertingkah seperti kanak-kanak."

Oh, begitukah?

Perlahan juga aku mulai merasakan ada sesuatu yang hilang dari keseharianku. Sebelum makan, aku terpaksa berdoa sendiri. Padahal biasanya aku berdoa bersama adik dan kakakku.

Tati berdoa juga sebelum makan. Tetapi Tati lebih suka makan di kamar tidur, atau di teras rumah, sendirian. Yang tidak enaknya lagi, sewaktu lidah menyentuh makanan lezat...tak ada teman yang bisa diajak bertukar pandang girang. Begitupun saat kecewa dengan makanan yang tidak enak rasanya. Tak ada teman untuk saling bertoleh dan mencibirkan bibir. Belum lagi kerinduanku pada teman-teman sekelas. Hoi, aku rindu bermain bersama mereka. Rinduuu

Ah, ternyata Ibu tahu perasaanku. Siang itu, waktu aku duduk di bawah pohon mangga di halaman depan rumah Tante Dita, Ibu mendekati.

“Tak usah sedih, besok kita pulang!" kata Ibu sambil mengelus rambutku.

"Oh?" aku menatap Ibu.

"Terima kasih, kamu bersedia berkorban, Oni. Mau bersabar, ikut menunggui Nenek. Ayah sudah memberi tahu wali kelasmu," kata Ibu.

Kudekap Ibu lekat-lekat. Ibu membalas dekapanku dengan mesra. Dekapan yang menunjukkan bahwa Ibu mengerti kegelisahan dan kerinduanku.

"Ya, ya, di rumah selalu ramai dan gaduh," kata Ibu. "Kamu selalu punya seseorang untuk bercanda dan tertawa, menangis atau saling menggoda. Di sini, semua serba sendiri. Bagaimanapun, kalau ada banyak orang, harus ada aturan... supaya segalanya berjalan tertib...." Ibu tersenyum manis.

Ah, ya, ya, aku menarik napas. Lega. Begini rupanya perbedaan rumahku dengan rumah Tante Dita, batinku. Tante Dita dan keluarganya memang baik padaku. Tetapi sosok seperti Ayah? Yang disiplin dan tegas seperti tentara, yang bisa menciptakan suasana rumah lengang atau gaduh tak terkira, hanya ada di rumahku.

"Oh, aku ingin cepat pulang, Bu. Aku rindu Ayah," kataku sambil mendekap ibuku sekali lagi.

Demikianlah 3 cerpen tentang ayah yang dapat kamu simak; sudah baca seluruh cerpen di atas?

Baca berita update lainnya dari Sonora.ID di Google News.

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
92.0 fm
98.0 fm
90.4 fm
102.6 fm
93.3 fm
97.4 fm
98.9 fm
101.1 fm
96.0 fm
96.7 fm
99.8 fm
98.9 fm
98.8 fm
90.8 fm
97.5 fm
91.3 fm
94.4 fm
91.8 fm
102.1 fm
98.8 fm
95.9 fm
88.9 fm
101.8 fm
97.8 fm
101.1 fm
101.8 fm
101.1 Mhz Fm
101.2 fm
101.8 fm
102.1 fm