Dari pertemuan ini, lanjutnya, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, pertama, soal regulasi yang memang lemah. Seperti yang diketahui bersama bahwasanya regulasi tidak terlalu mengikat.
Kemudian, ada juga hal yang jadi catatan dari pertemuan tersebut, pelaksanaan dari K3 terhadap karyawan di perusahaan begitu lemah.
"Itu dilihat dari beberapa kasus, yang mana penyemprotan untuk sawit tidak menggunakan Alat Pelindung Kerja (APK). Yang mana di negara maju, alat-alat tersebut sudah dilarang penggunaannya. Namun di sini masih kita gunakan, bahkan tidak menggunakan sama sekali," terangnya.
Menurutnya itu bisa dimasukkan ke dalam Perda tersebut dan dia berharap ke depan agar pemerintah dapat lebih memajukan pupuk-pupuk organik dibanding pupuk kimia. Karena pupuk kimia luar biasa dampaknya dan tidak kita sadari karena dampaknya terasa bisa puluhan tahun yang akan datang.
Dia mengatakan langkah selanjutnya setelah pertemuan tersebut adalah membuat notulensi terkait pertemuan tersebut, dan kemudian akan disampaikan ke Ketua DPRD Provinsi Kalbar.
"Dari situ akan dipilah-pilah mana leading sektor masing-masing, terkait dengan status perusahaan itu di komisi I, lalu terkait kondisi perusahaan bisa di komisi II, "jelasnya.
Sementara itu di tempat yang sama, Ketua Link-AR Borneo, Ahmad Syukri juga menyoroti beberapa poin hasil dari pertemuan yang dibahas tersebut seperti pupuk berbahan kimia yang mana untuk di luar negeri sudah tidak digunakan lagi.
Dia menambahkan bahwa pupuk dengan bahan kimia dapat memberi dampak jangka pendek maupun jangka panjang seperti dapat mengakibatkan kerusakan paru - paru, mata, kulit, dan sebagainya.
"Itu mayoritas dialami oleh pekerja-pekerja perempuan bagian perawatan," imbuhnya.
Selain itu, minimnya fasilitas dalam perkebunan kelapa sawit baik toilet, rumah bilas, kemudian pondok teduh yang mana itu bisa menyebabkan para pekerja rentan terpapar bahan kimia.
"Karena untuk bilas hasil racun yang mereka kerjakan itu cuma di genangan air parit di sekitar lokasi itu saja," terang Ahmad.