Sonora.ID – Di tengah arus tuntutan produktivitas tinggi dan ketatnya persaingan dunia kerja, muncul fenomena baru di kalangan Gen Z yang menarik perhatian publik, yakni “manusia tikus.”
Istilah ini mengacu pada cara hidup yang dipilih sekelompok anak muda, khususnya di China, yang lebih suka menghabiskan waktu dengan bersantai, bermain video game, berselancar di media sosial, dan tidur lagi.
Bagi sebagian pihak, gaya hidup ini dianggap sebagai simbol kemalasan. Namun, di balik situasi ini, ada cerita penting tentang kesehatan jiwa dan bagaimana generasi muda menghadapi stres dari kehidupan saat ini.
Fenomena ini sebenarnya merupakan bentuk protes pasif terhadap burnout—kondisi kelelahan emosional, fisik, dan mental akibat tekanan berkelanjutan. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang cenderung merespons tekanan dengan terus bekerja dan menuntaskan kewajiban, Gen Z memilih untuk memprioritaskan istirahat dan kesejahteraan emosional.
Psikolog klinis dewasa, Adelia Octavia Siswoyo, M.Psi, menjelaskan bahwa pola ini erat kaitannya dengan cara Gen Z memandang kesehatan mental.
“Jadi cara mereka menanggapi burnout adalah dengan beristirahat, bukan dengan memaksakan diri menyelesaikan kewajiban secara langsung,” ujarnya saat diwawancarai Kompas.com pada Senin (9/6).
Menurut Adelia, memilih untuk beristirahat bukanlah pilihan yang keliru. Justru ini menunjukkan peningkatan kesadaran akan pentingnya wellbeing, yakni kondisi kesejahteraan psikologis yang stabil. Dalam banyak situasi, generasi Z lebih suka memperhatikan diri mereka sendiri sebelum mengejar hasil kerja yang tampaknya produktif tetapi justru membuat kelelahan semakin buruk.
Namun demikian, Adelia mengingatkan bahwa fenomena “manusia tikus” bisa menjadi tidak tepat jika dijadikan alasan untuk meninggalkan tanggung jawab sepenuhnya.
“Sebetulnya bukan cara yang salah, namun menjadi kurang tepat ketika tidak ada usaha menyelesaikan tanggung jawab sebelum menarik diri dari kewajiban tersebut,” jelasnya.
Fenomena ini menjadi cermin perubahan nilai dan orientasi hidup antar generasi. Jika generasi sebelumnya dibesarkan dengan nilai kerja keras dan mencari kestabilan ekonomi sebagai tujuan utama, maka Gen Z malah tumbuh di zaman gangguan digital, masalah lingkungan, dan ketidakpastian dalam ekonomi.
Tidak mengherankan jika mereka menghadapi tekanan dengan cara yang berbeda, mempertanyakan sistem yang ada, menolak pujian terhadap budaya kerja keras, dan memperjuangkan kesempatan untuk beristirahat.
Meskipun seringkali mendapatkan stigma sebagai generasi “lemah mental” atau “anti produktif”, Gen Z justru menunjukkan bahwa keberanian untuk berhenti sejenak bisa menjadi bentuk ketangguhan. Mereka sadar bahwa memaksakan diri terus-menerus hanya akan memperparah kondisi psikologis dan sosial mereka.
Di sisi lain, respons Gen Z ini juga menuntut adanya adaptasi dari lingkungan kerja, pendidikan, dan keluarga. Banyak organisasi kini mulai memperhatikan pentingnya ruang rehat, fleksibilitas waktu, dan dukungan psikologis sebagai bagian dari sistem kerja yang sehat. Ini adalah bentuk kompromi menuju keseimbangan antara tanggung jawab dan kesehatan mental.
Dalam konteks Indonesia, fenomena “manusia tikus” juga menjadi pengingat pentingnya edukasi kesehatan mental sejak dini. Institusi pendidikan dan perusahaan perlu merancang program pendampingan psikologis yang berbasis pada pendekatan empatik dan partisipatif. Bukan sekadar mengevaluasi performa, tetapi juga memahami alasan di balik perubahan perilaku.
Lebih jauh, budaya masyarakat juga perlu diarahkan untuk lebih menerima variasi cara bertahan hidup di tengah tekanan. Tidak semua orang mampu bangkit dengan cara yang sama. Bagi sebagian anak muda, memilih tidur sepanjang hari bisa menjadi satu-satunya jalan untuk bertahan dari kecemasan dan tekanan sosial.
Karena itu, perlu strategi inklusif dalam menghadapi fenomena ini—yakni dengan tidak serta-merta melabeli perilaku Gen Z sebagai bentuk kemalasan, tetapi mencoba memahami narasi besar yang melatarbelakanginya. Generasi ini sedang mencari keseimbangan antara ekspektasi sosial dan kebutuhan pribadi, antara tuntutan ekonomi dan ruang untuk sembuh.
Dengan memahami akar dari fenomena “manusia tikus”, masyarakat akan lebih siap membangun ekosistem yang peduli, tidak menghakimi, dan memberi ruang bagi setiap individu untuk tumbuh dengan cara mereka sendiri. Karena pada akhirnya, setiap generasi punya cara unik dalam menjawab tantangan zaman (ejp/rhl/lnis).
Penulis: Muhammad Elga Johan Prasetyo