Find Us On Social Media :
Sulis dan kepiting hasi budidayanya. (Agus Haru/Yayasan Plan International Indonesia)

Kisah Sulis yang Menerima Manfaat Program Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan melalui Proyek Mata Kail

Sienty Ayu Monica - Rabu, 16 Desember 2020 | 08:30 WIB

Sonora.ID - Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia), Kopernik dan Bengkel APPeK (Advokasi Pemberdayaan dan Pengembangan Kampung) bekerja sama dalam melaksanakan Proyek Mata Kail (Mari Kita Kreatif Agar Ikan Lestari) yang didanai oleh Uni Eropa melalui Program Sustainable Consumption and Production in Fish Processing SectorSWITCH Asia II.

Proyek ini dilaksanakan pada 10 desa di Kabupaten Sikka, 10 desa di Kabupaten Nagekeo, dan 10 desa Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Tujuan utamanya adalah mempromosikan prinsip SCP (Sustainable Consumption and Production/ Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan) di sektor pengolahan Ikan, mengurangi pengangguran kaum muda (khususnya kaum muda perempuan), dan menangani persoalan kekurangan gizi di desa.

Baca Juga: Gurihnya Peluang Bisnis Kepiting

Tak hanya itu, proyek ini juga bertujuan untuk mendorong kebijakan penerapan SCP di tingkat desa dan kabupaten, mempromosikan proses pengolahan ikan yang efisien, juga mencegah kontaminasi bahan kimia dalam usaha pengolahan ikan.

Kemudian, Mata Kail dirancang untuk mendorong kaum muda menjadi wirausahawan atau pengusaha UMKM pemula, sekaligus untuk mempromosikan kebiasaan makan ikan yang dapat berkontribusi pada peningkatan asupan gizi 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).

Kepiting, Harapan Baru Sulis di Tengah Pandemi Covid-19

Kesulitan akan selalu ada, namun kita tak perlu menjadikannya sebagai pemutus asa. Setidaknya, itulah pendapat Sulis (21 tahun), perempuan muda dari Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terus berusaha bangkit di tengah keterpurukan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Baca Juga: Pandemi Covid-19 Berdampak terhadap Industri Ritel, Omset Turun hingga 40 Persen

Sejak Maret 2020, Sulis diberhentikan sementara dari perusahaan tempat ia bekerja. Hal ini terjadi, lantaran perusahaan tempatnya mencari nafkah--sebuah perusahaan garam yang beroperasi di dekat tempat tinggalnya--terkena dampak negatif dari pandemik COVID-19 sejak Maret 2020.

Padahal, sejak tamat SMA di tahun 2017, Sulis telah menguburkan impiannya untuk melanjutkan kuliah maupun menjadi guide wisatawan sekaligus fotografer. Anak kedua dari empat bersaudara ini terpaksa harus bekerja di perusahan garam demi membantu ekonomi keluarganya.