Find Us On Social Media :
Menkopolhukam Mahfud MD Pimpin Rakor Menteri Bahas Urgensi Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (BIRO HUKUM DAN HUMAS KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK)

Pimpin Rakor Menteri, Menkopolhukam Bahas Urgensi Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Saortua Marbun - Kamis, 29 Desember 2022 | 18:51 WIB
Sonora.ID – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga selaku Ketua Harian Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
 
Dalam laporannya mengawali Rapat Koordinasi Tingkat Menteri Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GT PP TPPO).
 
Rapat Koordinasi Tingkat Menteri tersebut dipimpin langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam), Mahfud MD selaku Ketua II GT PP TPPO dan dihadiri oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Johnny Gerard Plate; Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).
 
Benny Rhamdani; Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Hasto Atmojo Suryo; Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Polri), Agus Andrianto; serta anggota GT PP TPPO di tingkat pusat. 
 
“TPPO merupakan kejahatan transnasional yang bertentangan dengan harkat, martabat kemanusiaan, dan melanggar hak asasi manusia (HAM) sehingga dibutuhkan strategi pencegahan dan penanganan yang serius dan komprehensif oleh negara. Rapat Koordinasi Tingkat Menteri ini merupakan langkah strategis bersama dalam membahas dan menyikapi maraknya isu TPPO di Indonesia yang terorganisir dan begitu sistematis,” ungkap Menteri PPPA dalam laporannya pada Rapat Koordinasi Tingkat Menteri GT PP TPPO, Rabu (28/12).
 
Menteri PPPA menjelaskan, berdasarkan data yang tercatat di SIMFONI PPA, sepanjang tahun 2017 hingga Oktober 2022, tercatat sebanyak 2.356 korban TPPO yang terlaporkan.
 
Dari seluruh korban TPPO yang terlaporkan, persentase terbesar terjadi pada anak-anak sebesar 50,97 persen, perempuan sebesar 46,14 persen, dan laki-laki sebesar 2,89 persen.
 
Sejak tahun 2019 terjadi peningkatan jumlah korban TPPO yang terlaporkan, yaitu dari 226 pada tahun 2019, menjadi 422 korban pada tahun 2020, dan 683 korban pada tahun 2021. Sementara itu, selama periode Januari - Oktober 2022 telah terlaporkan 401 korban TPPO.
 
“Adanya kecenderungan meningkatnya korban TPPO yang terlaporkan setiap tahunnya, hal ini tentu harus menjadi perhatian bersama untuk dapat melakukan berbagai upaya dan strategi pencegahan dan penanganan TPPO. Apalagi, dengan semakin banyaknya modus-modus baru yang bermunculan dan kian kompleks, pencegahan dan penanganan TPPO harus menjadi fokus dan urgensi kita bersama,” ungkap Menteri PPPA.
 
Lebih lanjut, Menteri PPPA mengemukakan, Pemerintah Republik Indonesia menaruh perhatian serius dalam upaya pemberantasan kejahatan TPPO.
 
Salah satunya dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO).
 
Dalam pengimplementasian UU tersebut, telah diterbitkan beberapa peraturan pengikat, diantaranya: (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban TPPO; (2) Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO.
 
Dan (3) Peraturan Menteri PPPA Nomor 8 Tahun 2021 tentang Standar Operasional Prosedur Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban TPPO.
 
Baca Juga: Prof Muradi: Setelah FPI Dibubarkan, Lalu Bagaimana?

“Keberadaan UU, peraturan-peraturan terkait TPPO, serta GT PP TPPO merupakan bukti nyata keseriusan negara dalam melindungi setiap individu dari kejahatan TPPO. Adapun melalui GT TPPO, pada tahun 2022 telah disusun Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (RAN PP TPPO) untuk mengintegrasikan program dan kebijakan terkait pencegahan dan penanganan TPPO melalui anggaran yang melekat pada alokasi anggaran Kementerian/Lembaga, sesuai dengan rencana aksi masing-masing,” jelas Menteri PPPA.

 
Menteri Koordinator Polhukam mengungkapkan, pertemuan ini adalah langkah awal bagi GT PP TPPO untuk memetakan dan menelaah berbagai macam permasalahan terkait TPPO yang dihadapi oleh setiap Kementerian/Lembaga.
 
Serta meningkatkan produktivitas dari kinerja GT PP TPPO dalam percepatan pencegahan dan penanganan TPPO.
 
“Kejahatan TPPO ini merupakan kejahatan serius dan luar biasa menyangkut pada kemanusiaan dan martabat bangsa. Perlu koordinasi, sinergi, dan kerja konkrit dari GT PP TPPO untuk memastikan bahwa pembagian tugas dalam upaya pencegahan dan penanganan TPPO ini berjalan sesuai dengan fungsinya. Banyak sekali kasus dan jenis-jenis pelanggaran TPPO ditemui di ranah hukum dan HAM, terutama melalui imigrasi dan urusan VISA, dimana dengan mudahnya organisasi dan sindikat TPPO memasukkan juga mengeluarkan orang secara ilegal,” kata Menkopolhukam.
 
Menteri Koordinator Polhukam pun menegaskan, dengan peningkatan kasus TPPO setiap tahunnya, maka pencegahan harus menjadi fokus utama karena penindakan lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan pencegahan. 
 
“Kasus TPPO ini merupakan kejahatan yang dilakukan secara terencana dan kerap kali adanya keterlibatan oknum-oknum di dalam suatu institusi pemerintah. Banyak kasus-kasus dimana korban TPPO diperlakukan tidak layak, korban TPPO kadang kala ada yang menjadi awak kapal dan tidak merasakan sinar matahari selama enam bulan, setelah itu jika mereka gugur di tengah lautan, jasad mereka di buang ke laut begitu saja. Oleh karena itu, setiap anggota GT PP TPPO perlu memastikan permasalahan yang di hadapi di masing-masing instansi agar kita dapat memetakan langkah selanjutnya,” ungkap Mahfud MD
 
Senada dengan Menteri Koordinator Polhukam, Menteri Kominfo Johnny G. Plate mengemukakan, TPPO adalah sebuah bentuk dari pelanggaran HAM berat yang memerlukan penanganan dan pencegahan secara serius, apalagi sebagian besar korbannya adalah perempuan dan anak.
 
“Dalam penanganan TPPO ini kita semua harus tegas dan melakukan upaya-upaya sistematis yang sekiranya dapat dilakukan oleh masing-masing instansi. Adapun beberapa upaya telah dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam upaya pencegahan TPPO berupa: (1) pemanfaatan surveillances dan pemberantasan situs-situs pada ranah digital yang menawarkan lowongan kerja palsu bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI); (2) pemanfaatan Pusat Data Nasional Sementara yang memiliki kapasitas besar dan dapat digunakan oleh setiap Kementerian/Lembaga; (3) Sosialisasi dan advokasi melalui seluruh penjuru kanal, khususnya memaksimalkan penggunaan Government Public Relations (GPR) secara aktif; dan (4) Koordinasi dan kolaborasi lintas Kementerian/Lembaga,” jelas Menteri Kominfo.
 
Dalam kesempatan tersebut, Kepala BP2MI, Benny Rhamdani menjelaskan terdapat beberapa modus operandi penempatan ilegal PMI.
 
Diantaranya secara konvensional dimana sebagian besar calo turun langsung ke masyarakat untuk menawarkan pekerjaan dengan gaji tinggi dan keberangkatan cepat; propaganda di media sosial yang sering kali ditemukan Info Peluang Kerja.
 
Wajah propaganda Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) yang menawarkan fungsi pelatihan kerja/bahasa dan mampu menangani penempatan di luar negeri; dan penempatan ilegal oleh Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI).
 
“BP2MI telah menjalankan upaya pencegahan dan penanganan sindikat penempatan ilegal PMI yang terindikasi TPPO melalui kebijakan teknis, tindakan/operasional, program, serta koordinasi dengan Kementerian/lembaga terkait. Meskipun begitu, masih ditemukan beberapa kendala karena BP2MI tidak memiliki kewenangan dalam hal penindakan, banyaknya pihak/oknum yang terlibat dalam TPPO sehingga menyulitkan dalam hal pembuktian atau pemenuhan unsur TPPO, hingga semakin bervariasinya modus operandi sindikat yang beroperasi dengan memanfaatkan berbagai macam celah yang ada,” ungkap Kepala BP2MI.
 
Ketua LPSK, Hasto Atmojo Suryo menekankan, tugas dan fungsi LPSK dalam suatu perkara TPPO berada di hilir ketika telah naik menjadi pidana.
 
“LPSK terlibat aktif dalam GT PP TPPO pada sub tugas pencegahan dan penegakan Hukum. Dalam hal ini LPSK melakukan penyebarluasan informasi mengenai tugas dan wewenang LPSK untuk melakukan perlindungan dan pemenuhan hak-hak lain termasuk saksi dan korban TPPO. Dalam pemberian perlindungan saksi dan korban TPPO, pada tahun 2022 LPSK telah menangani 256 perkara TPPO dimana jumlah tersebut merupakan jumlah yang terlaporkan, sementara yang tidak terlaporkan jumlahnya jauh lebih besar,” jelas Ketua LPSK.
 
Anggota GT PP TPPO di tingkat pusat terdiri dari 24 Kementerian/Lembaga yang terbagi menjadi 6 (enam) sub tugas, yaitu pencegahan, rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial, penegakan hukum, pengembangan norma hukum, serta koordinasi dan kerjasama.
 
Setiap anggota GT PP TPPO masing-masing terlibat dalam sub tugas yang bersama-sama melakukan upaya pencegahan dan penanganan TPPO dimulai dari penegakan hukum, pemberdayaan korban TPPO.
 
Termasuk advokasi, sosialisasi, pelatihan yang melibatkan semua anggota GT PP TPPO, baik di pusat dan daerah sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan yang dimiliki.
 
Baca Juga: Asal-Usul Cuitan Ridwan Kamil dan Mahfud MD yang Jadi Sorotan