Pendidikan Gratis Tak Selalu Jadi Solusi, Rektor Universitas Ma Chung Tekankan 3 Faktor Utama Untuk Melahirkan Pendidikan Berkualitas

18 Juni 2025 12:20 WIB
Prof. Dr. Ir. Stefanus Yufra M. Taneo, M.S., M.Sc. Dalam Media Gathering Universitas Ma Chung, Jumat 13 Juni 2025.
Prof. Dr. Ir. Stefanus Yufra M. Taneo, M.S., M.Sc. Dalam Media Gathering Universitas Ma Chung, Jumat 13 Juni 2025. ( Dokumentasi Oleh Radio Kalimaya Bhaskara/Lilis Nur Indah Sari)

Malang, Sonora.ID - Pendidikan gratis tak selalu jadi solusi, Rektor Universitas Ma Chung tekankan 3 faktor utama untuk melahirkan pendidikan berkualitas.

Wacana pemerintah Indonesia untuk menerapkan pendidikan gratis bagi jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP) memunculkan berbagai respons, termasuk dari kalangan akademisi.

Rektor Universitas Ma Chung, Prof. Dr. Ir. Stefanus Yufra M. Taneo, M.S., M.Sc., menyoroti urgensi kehadiran negara di dunia pendidikan dalam konteks ekonomi, sekaligus pentingnya tanggung jawab personal dalam aspek sosial.

Menurut Prof. Yufra, keberpihakan negara terhadap ekonomi masyarakat memang tercerminkan melalui program pendidikan bebas biaya. Namun, ia menekankan bahwa berdasarkan temuan sosial, apa yang diperoleh secara cuma-cuma seringkali kurang dihargai oleh penerimanya. 

“Karena itu model-model subsidi sepertinya lebih efektif dibanding yang gratis semua. Subsidi itu artinya sebagian dia harus tetap menanggung, sehingga masih ada tanggung jawab atau rasa memilikinya,” jelasnya pada Media Gathering yang diadakan Jumat (13/6).

Prof. Yufra menyoroti bahwa kualitas pendidikan tak semata-mata bergantung pada pendekatan formal seperti kurikulum atau proses belajar di kelas, melainkan juga dipengaruhi secara signifikan oleh jalur informal dan non-formal. Baginya, proses belajar secara tidak langsung (informal) yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial, seperti keluarga dan masyarakat terdekat, menjadi landasan utama dalam menanamkan karakter dan minat belajar anak. Ditambah lagi, berbagai kegiatan positif melalui pelatihan dan kursus di luar sekolah juga menjadi faktor pendukung secara non-formal.

Baca Juga: 22 Ribu Lebih Peserta Siap Berlaga, Malang Raya Sambut Gebrakan Porprov Jatim IX 2025

Di sisi lain, penerapan pendidikan gratis memang tidak bisa serta-merta disamakan dengan standar negara-negara maju yang telah memiliki tradisi belajar kuat selama ratusan tahun. Ia menekankan bahwa sistem dan budaya belajar di Indonesia masih perlu dibangun serta diperkokoh secara bertahap.

Kondisi generasi muda yang tumbuh dalam ekosistem digital pun mendapat perhatian tersendiri. Menurut pengamatannya, banyak anak-anak yang diarahkan pada penggunaan gawai sejak kecil, menjadikan konsentrasi belajar mereka semakin pendek karena minimnya analisis mendalam terhadap suatu informasi.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, ia mendorong penguatan budaya literasi yang mencakup tiga tahap: enlightenment (pencerahan), enrichment (pemerkayaan), dan empowerment (pemberdayaan). Menurutnya, literasi bukan hanya soal bisa membaca dan menulis, tetapi bagaimana sebuah informasi dapat diolah menjadi wawasan dalam hidup.

Melalui pendekatan yang bertahap dan berimbang, antara porsi bantuan negara dan partisipasi keluarga, serta penguatan literasi kritis sejak dini, Prof. Yufra optimistis bahwa pendidikan Indonesia dapat tumbuh kokoh dan berkelanjutan, tak hanya gratis tapi juga berkualitas. (rhl/lnis)

Penulis: Rahil Kamilia Sa’idah

Baca Juga: Gubernur Herman Deru Ungkap 12 Program Prioritas Pembangunan Sumsel 2025–2029 di Musrenbang RPJMD

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
92.0 fm
98.0 fm